It is amazing when you submit a story to a publication and it is not accepted by the curators of that publication, and after you publish that same story in your own publication, Medium distributes it…
Entah aku harus berterima kasih pada semesta atau bersumpah serapah. Beberapa hari
belakangan senja tak pernah datang dengan indah. Dia selalu kembali membawa
segerombolan awan hitam alih-alih semburat jingga melukis angkasa. Tapi seperti candu, aku
masih selalu menantinya. Padahal aku tau semesta tidak suka berkawan.
Namun sore itu untuk pertama kalinya, tujuanku bersusah payah menaiki puluhan anak
tangga bukanlah untuk senja. Melainkan suara isakan samar yang terdengar menyesakkan.
Aku mendekati sumbernya pelan, dan setelahnya aku menjadi semakin penasaran.
Aku masih ingat bagaimana aku berhati-hati membuka pintu rooftop untuk pertama kalinya.
Takut jika sebuah suara akan menghentikan si pemilik duka berkeluh kesah pada dunia. Aku
hanya ingin tau, siapa gerangan yang begitu berani menyumpahi Sang pengatur bahagia.
Dia ada disana, duduk bersandar pada salah satu sisi tembok. Seragamnya masih terpakai
rapi, namun tidak dengan rambutnya yang berantakan. Di sampingnya ada sekotak rokok
yang sudah terbuka. Alasan mengapa dia sibuk menyalakan sebatang yang ada di tangan
kanannya.
Aku tak berani bergerak barang se-inchi, tapi dari tempatku berdiri wajah itu tak terasa asing.
Sepertinya aku sudah pernah melihatnya, tapi dimana?
Tak terhitung berapa kali dia mengembuskan cincin-cincin asap ke udara. Untung saja aku
menjaga jarak, karena demi Tuhan asap rokok adalah hal yang tidak aku suka. Tapi tetap saja,
batinku tak pernah berhenti menerka.
Sebenarnya apa yang membuatnya begitu terluka hingga dia menghabiskan banyak hari
dalam naungan lara?
Hal yang sama terus ku lakukan beberapa hari setelahnya. Pergi ke rooftop, mendengar laki-laki itu kembali menyumpahi langit dan seisinya. Dan berakhir dengan memandanginya
membakar batang nikotin, menyesapnya hingga tidak ada yang tersisa.
Kemudian setelah bertarung dengan diri sendiri, aku memberanikan diri. Aku menyusun
skenario sedemikian rupa agar aku bisa mendekatinya. Seolah didukung semesta, hujan turun
sore itu. Mungkin karena langit juga sudah jengah mendengarnya bersumpah serapah.
“Lo Yesa kan?”
Aku masih ingat bagaimana aku memulai pembicaraan. Rintik hujan seolah menjadi musik
pengiring. Kami seolah berada dalam sebuah adegan drama. Dialog demi dialog akhirnya
terjadi. Dan kalau aku boleh jujur, kesanku pertamaku pada Yesa saat itu… dia misterius.
Nama Yesa cukup terkenal di sekolahku. Otaknya yang encer dan sikapnya yang ramah,
siapapun akan setuju Yesa adalah siswa yang teladan. Tapi setelah sore itu, aku tau Yesa
hanyalah manusia biasa. Dia juga menunjukkan sisi gelapnya. Meski anehnya, dia tidak
memintaku untuk merahasiakan dari siapapun soal kebiasaan merokoknya. Seolah tak takut
celanya diketahui siapa saja.
Tak banyak yang kami bicarakan. Karena Yesa cukup banyak diam. Namun manik
obsidiannya cukup berbicara, bahwa dia tidak baik-baik saja. Lalu secara spontan, pelukan
itu aku berikan begitu saja.
Dering teleponku mungkin menjadi pemisah pertemuan pertama kali Yesa denganku. Tapi
aku lega aku bisa menyampaikan hal yang ingin aku sampaikan padanya. Untuk berhenti
merokok, untuk tidak apa merasa tidak baik-baik saja, dan.. untuk harapan akan pertemuan
selanjutnya.
Yesa Rajendra,
Kamu hanya tidak pernah tau, bagaimana dunia menyajikanmu dengan terlalu indah tapi
penuh luka.
Bagaimana kamu menangis sendirian, mengaduh dalam redam, dan menyiksa batinmu dalam
kelam.
Mungkin karena itu langkahku selalu menujumu, aku selalu berhasil kembali. Sehari sebelum
hari itu, dan sehari sebelum itu, dan sehari lagi sebelum itu..
©beautyujuu2021
Whether you write fiction, nonfiction, or poetry, it is integral to come up with great ideas and unique stories. You cannot simply browse the internet to gain inspiration. You need to combine…